Se7en Oceans adalah nama sebuah kafe di Kota Palem. Tempat 7 pribadi yang berbeda satu sama lain dengan karakter dan background yang berbeda duduk bercengkrama dan berbagi kehidupan. Ini sebuah kisah asmara, pertemanan, sahabat, kehidupan, penemuan jati diri, dan lainnya dari 7 orang yang berbeda latar belakang. Mereka adalah Orion, Atlantis, Paris, Ariel, Andrea, Erin, dan Indie. Feel the wave of the oceans..

Senin, 01 November 2010

A LONG JOURNEY.....

Tatapan itu...
Ya, aku mengenal tatapan itu...
Teduh dan menyejukkan hati...
Sarat akan makna hidup mendalam...

Ingatanku mulai pulih...
Sepenuhnya pulih...
Tak terlewatkan satu pun...
Terangkum sempurna...

Aku sadar sepenuhnya...
Sadar akan diriku...
Tak membayang...
Tak bisa menghilang...

Matahari jingga terbenam...
Mengubur perlahan semua kisah hari itu...
Memunculkan kisah baru esoknya...
Berbeda dan tak terduga...

Sabtu, 01 Mei 2010

GHETTO

It's good to be back~ Gw hirup dalam-dalam udara Palem malam itu: aroma tanah paska hujan yang khas membaur. Di etalase toko yang hampir tutup gw mematut bayangan seorang lelaki, kini rambutnya sudah sedikit gondrong, dicat kuning-eminem, ehm, agak bosen jadi sekali-sekali pengen ganti suasana. Gw bukan termasuk orang yang aneh--cuma kali ini mood sedang rada up-beat. Jeans melorot, boxer, sepatu model skater-ish, haha, be a bit playful these days.


Lampu di luar SOS sedikit redup, "Wah, Indie ga tanggung jawab nih", pikir gw. Ternyata Indie sedang off karena di dalam cuma ada Orion yang kelihatannya sedang sibuk melayani tamu-tamu, kebanyakan dari mereka tampak depresi. Wish I'd never be one, though.


"Cuy, penampilan baru, nih…", sapa Orion.


"He he…bosen, Yon", jawabku sambil meraih sebotol Jack.


Setelah menyapukan pandangan ke seluruh pengunjung SOS, gw berpikir, "Hei, pada ke mana nih orang yang gw kenal?"…di sini cuma ada Orion, trus Paris yang sedang mabok berat.


"Dah tiga kali dalam seminggu ini dia begitu", Orion menjawab pertanyaan gw.


Gw sih nggak gitu kenal dengan Paris, malah cenderung menghindar. Chemistry kita nggak nyambung kecuali kita sama-sama ditakdirkan menjadi womanizer *bangga.


"Ariel~", lha…dia manggil. Pura-pura ga denger aja, ah…gw melengos, mending menuhin gelas.


"Ariel, Bro…", kali ini tangannya melambai ke sini. Shoot~ dengan enggan gw jalan mendekati meja penuh dengan botol dan sloki kosong.


"Wassup?", langsung gw tanggepin biar pembicaraan ini cepat kelar.


"Er…er..in", katanya lemah. Ini kayak pesan kematian aja…lagian gw ga ngerti apa maksudnya. Bisa jadi nama orang trus gw mikir, "Erlin?, itu kan nama pembantu gw, kapan mereka kenalan?". Whatever, sekarang dia sudah tepar. "Yon, passed out satu, nih!" teriakku sambil nunjuk-nunjuk.


"Dasar Polisi aneh…"

Minggu, 14 Maret 2010

MY LIFE...

Tepi pantai memang tempat yang sangat menarik untuk dikunjungi. Ada sebuah tempat di Kota Palem yang jarang sekali didatangi bahkan mungkin mereka tidak tahu ada tempat seperti ini. Pasirnya putih, indah berkilau, pepohonan rimbun sehingga membuat teduh dan yang pasti ada rasa kedamaian ketika aku mengunjungi tempat ini. Aku mengunjungi tempat ini pada waktu-waktu tertentu saja, ketika aku sedang sedih, ingin merenung sendiri, dan ketika aku sedang melarikan diri dari segala rutinitas kerjaku.

Aku duduk di atas pasir sambil melihat hamparan laut yang sangat luas dihadapanku. Bunyi deru ombak yang tenang. Airnya yang berwarna biru muda seakan-akan mengajakku untuk bermain bersamanya. Cukup lama aku berada disini, entah apa yang sedang kupikirkan saat ini. Aku mengubah posisiku menjadi telentang, menghadap langit biru cerah yang diselimuti awan tipis. Hari ini sangat sempurna, pikirku.

Aku mendengar suara langkah kaki dari kejauhan, langkah kaki yang disertai dengan bunyi percikan air. Aku tidak peduli. Mataku terpejam dan aku sangat menikmati kesunyian di tempat ini. Semakin lama, langkah kaki itu terdengar semakin mendekat kepadaku. Tetapi mataku tetap terpejam. Paling hanya orang lewat saja, pikirku lagi. Tiba-tiba, langkah kaki itu terhenti, tidak ada suara lagi. Aku langsung membuka mata dan melihat kearah suara langkah kaki tersebut.

"Hai, Lantis..", sapa orang tersebut.

Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Mataku sedikit terbelalak, jantungku berdetak lebih kencang.

"Ya, sedang apa kamu disini?", tanyaku.

"hmmm.....ternyata tempat ini indah juga yah", jawabnya.

Aku bangun dari posisiku dan duduk.

"Sini, duduk disampingku", ajakku.

Dia pun duduk di sampingku. Aku memperhatikan gerak-geriknya...ohh...sangat sesuai. Tubuh yang proporsional, rambut panjang tergerai dan sedikit berkibar karena tertiup angin, wajah yang menarik dan attitude yang sangat pantas untuk orang seusianya.

Sudah lima menit berlalu, kami hanya duduk terdiam. Aku pun tidak tahu topik apa yang sesuai untuk memulai obrolan dengannya. Saat aku berpaling untuk melihat wajahnya, ternyata pada saat yang sama dia juga memalingkan wajahnya kepadaku. Aku memperhatikan setiap keindahan wajahnya. Alis matanya yang tidak terlalu tipis, matanya yang bundar, hidungnya yang proporsional dengan wajahnya dan........


sreeeeeeetttt....... sreeeeeeettttt......

Aku memejamkan mataku lebih dalam lagi dan menutup mataku dengan lengan karena kuatnya sinar matahari menerpa wajahku.

"Kak....kak....bangun kak...", teriak Indie, adikku, sambil menyingkapkan tirai kamarku.

"mmmmm...", gumamku.

Indie naik ke tempat tidurku dan mengguncang-guncangkan tubuhku.

"Kak, aku hari ini mau pergi sama teman-teman. Aku mau minta uang. Tadi mama sama papa udah pergi duluan, jadi aku gak sempat minta", pintanya langsung tanpa menungguku sadar sepenuhnya dari tidurku.

"Ya ampun, Indie......ganggu orang lagi tidur aja..... lagi mimpi indah tahuuuu....", ujarku sedikit kesal.

"Yah, maaf deh kak. Nanti tidurnya di lanjutin aja lagi, siapa tahu mimpinya bersambung.", jawabnya sambil melepas roll-an di rambutnya.

"Enak aja bersambung....emangnya sinetron.....",balasku lagi sambil merubah posisi tidurku menjadi terduduk.

"Hihihihi..... yah, siapa tahu gitu bisa bersambung......", ujarnya centil.

"Dasar kamu tuh yaa.... yaudah sana ambil uangnya di dompet, di tas yang warna hijau", suruhku sambil menunjukkan jari kearah meja di kamarku.

"Oke deh kakakku yang paling ganteng, baik dan imut..", katanya sambil berjalan centil kearah meja.

"Yeee.....kalau itu mah dari dulu tahuuuuu......",balasku.

"hihihi..... dadah kakakku.....", pamit Indie sambil melambaikan tangan ala Miss Universe.

"Iya, hati-hati yah. Jangan pulang malam-malam", pesanku.

"Siap boss.....", sahutnya.

Aku langsung teringat dengan mimpiku semalam. Andai saja mimpi itu bisa tersambung lagi nanti malam, pasti aku akan bahagia sepanjang hari esok.

Aku sambar ponselku yang ada di meja dekat tempat tidur dan langsung mengirimkan sebuah pesan singkat.

"Slmt pagi...
Gmn kbr-mu?
Hr ini kamu ke kafe gak?"

Message sent to Andrea

Aku letakkan ponselku di atas meja dan menuju ke kamar mandi. Bersiap-siap berangkat ke kafe "se7enoceans", kafe yang aku bangun dari seluruh jerih payahku bekerja selama sembilan tahun.

Sabtu, 13 Maret 2010

HALO

Drrt ... drrrt ...
suara itu menyentakanku tepat sebelum aku jatuh tertidur malam itu. aduhh ... siapa sih yang menelfon malam-malam begini? enggak tahu sopan! makiku dalam hati, aku juga sih yang tidak mematikan HP sepulangnya dari jalan-jalan dengan Erin tadi. Seharian ini kami betul-betul bersenang-senang. Erin mengajakku jalan-jalan ke taman kota, mencoba berbagai macam jajanan yang ada di sana , ikut bermain dengan beberapa orang anak kecil dan para babysitter mereka, kemudian kami makan di kedai es krim yang terletak di pinggir laut kota Palem sambil menikmati matahari terbenam.

Pulang-pulang aku sudah sangat capek dan mengantuk sehingga yang kuinginkan hanya cepat-cepat mandi, sikat gigi dan tidur. Erin yang mempunyai cadangan energi lebih banyak dariku sekarang masih berkumpul di ruang keluarga bersama Papa, menonton siaran sepak bola. Sesekali aku mendengar seruannya yang penuh semangat ketika kesebelasan yang dijagokannya berhasil mencetak gol.

Sudah setengah jam berlalu sejak suara Erin yang meneriakkan kemenangan menghilang, tapi kini aku malah diganggu oleh telfon tidak tahu sopan ini. Siapa sih?!

Paris calling ...

Paris? Ada apa ya? Kutekan tombol penerima telfon. "Halo?"

Tidak ada jawaban.

"Halo? Paris? Kenapa?"

"Kamu bukan Annabel ..." suaranya terdengar aneh. "Mana Annabel? Mana cewek brengsek itu, heh?"

"Paris, apa-apaan sih? Aku Andrea!" seruku.

"Ohh? Andrea? Kok HP-nya Annabel sialan itu bisa ada di kamu?" ia terkekeh di seberang sana.

"Kamu salah sambung, Paris!" ujarku, rasa kantukku mulai hilang seiring dengan datangnya kecemasan. Ada yang aneh di suara Paris. "Paris, kamu mabuk ya?"

"Pfft! Enggaak ..."

Aku tahu dia bohong. "Kamu dimana? Mau aku jemput sekarang?"

"Jangan!!" tiba-tiba ia menyergah. "Aku enggak mau kamu melihatku seperti ini. I look like a total damn mess, Ndre! Ini bukan pemandangan yang cocok buat anak manis kayak kamu."

"Paris!!" seruku kesal. "Aku serius. Kasih tau kamu ada dimana."

"Udah Andrea sayang ... kamu tenang sajaa! Kamu tuh persis Lantis, tau gak ...? Dari tadi dia bilang aku mabuk, aku mabuk ... padahal aku belom bisa ngilangin cewek brengsek itu dari pikiranku!" jawab Paris. "Cewek sialan ... kalau aja aku enggak ingat dia itu cewek, huh! Udah gue gampar dia waktu aku lihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana dia mengkhianatiku ..."

"Kamu di Se7en Oceans?" tanyaku.

"Yup! Dan aku pengen pindah ke langit ke 7 ..." gumam Paris. "Yon ... segelas lagii aja ... ini yang terakhir, pleeaasee ..." aku mendengarnya bicara pada seseorang.

Fiuh ... syukurlah dia di Se7en Oceans. Setidaknya di sana ada Lantis dan Orion. Aku sudah takut saja kalau Paris tahu-tahu sedang berada di klab-entah-apa-namanya dimana para security dengan tidak berperasaannya akan melemparkan pemabuk yang sudah tidak sanggup bangun lagi ke luar dan membiarkannya di sana.

"Ndre ...?"

"Ya? Ya?" ujarku gelagapan.

"Kamu jangan diem aja dong ... kamu sedih ya mendengar aku kacau kayak gini? Kamu kecewa begitu tahu Paris enggak sehebat kelihatannya?"

"Enggak! Enggak, aku ... aku cuma baru bangun tidur aja tadi ... jadi masih agak ... bingung." kataku buru-buru. "Mending habis ini kamu cepat pulang, lalu tidur aja ya Paris. Jangan minum lagi ... oke? Dengan kamu tidur, semuanya bakal terasa lebih baik di pagi hari nanti ketika kamu bangun."

"..."

"Paris?"

"Kamu terus ngomong aja, Ndre ... please ... aku perlu tau kalau kamu masih di sana ... biar aku tenang ... ya ...? please?"

"Oke. Oke ... ngomong apa?"

"Apa aja. Nyanyi juga boleh ... hehehehe ..." Paris terkekeh. "Nina boboin aku, Ndre. Yah?"

Waduh. Mati aku. Udah hampir tengah malam begini dibangunin oleh Paris yang sedang mabuk, disuruh nyanyi pula! Tenang ... fokus Andrea, fokus!

"Ndre? Aku masih di sana?"

"Masih, masih!"

"Ayo dong, nyanyi!"

"Sabar kali! Ini lagi bingung mau milih lagu apa!" kataku. Mataku tanpa sengaja menangkap kotak CD album terbaru Beyonce yang kubeli seminggu lalu. Ada satu lagu yang kudengarkan berkali-kali karena aku menyukainya. Halo. Nah, itu dia!

Aku berdeham, lalu mulai bernyanyi lirih. "Remember those walls I built Well, baby they're tumbling down And they didn't even put up a fight They didn't even make up a sound ..."

"I found a way to let you in
But I never really had a doubt
Standing in the light of your halo
I got my angel now

It's like I've been awakened
Every rule I had you breakin'
It's the risk that I'm takin'
I ain't never gonna shut you out

Everywhere I'm looking now
I'm surrounded by your embrace
Baby I can see your halo
You know you're my saving grace

You're everything I need and more
It's written all over your face
Baby I can feel your halo
Pray it won't fade away

I can feel your halo halo halo
I can see your halo halo halo
I can feel your halo halo halo
I can see your halo halo halo"

Aku menyelesaikan lagu itu sampai refrain pertama. Samar-samar aku mendengar suara nafas Paris yang sudah mulai teratur ... juga dengkur halusnya. Dia sudah tertidur? Aku membayangkan wajah tampan Paris saat itu, berkeringat, merah karena pengaruh alkohol, berkerut-kerut menahan sakit hatinya ... tanpa sadar air mataku mengalir di pipi.

Ah, andai saja aku bisa ada di Se7en Oceans saat ini ... aku ingin berada di sisi Paris, menghapus air matanya, menungguinya sampai ia terbangun esok hari, menolongnya mengatasi hangover yang menyiksa ... aku ingin ia tahu aku akan selalu ada di sisinya, apapun yang terjadi karena ... aku sangat menyayanginya.

"Selamat tidur, Paris ..." bisikku lirih. "Tidur yang tenang ya ... aku ... sayang kamu..."

"Andrea?" ada suara orang lain.

"I ... iya ... ini ...?"

"Aku. Orion."

"Orion???" aku terperanjat. Mukaku sontak berubah merah padam seperti udang yang dilempar ke air mendidih.

"Maaf, aku tadi tidak bermaksud mencuri dengar. Aku lihat Paris mulai tertidur dengan HP yang masih menyala di telinganya, tadinya aku mau menggunakannya untuk menelfon taksi agar Paris bisa pulang."

"Oh, oke ... t-tidak apa-apa kok, Yon!" kataku terbata-bata.

"Paris saat ini lagi sedang tidak bisa diajak bicara." kata Orion. "Dia sedang mabuk, agak berat. Tapi jangan khawatir, aku dan Atlantis ada di sini kok."

"Oh, oke ... oke." mati aku! Apa Orion mendengar kata-kataku barusan? Aku ingin bertanya, tapi kemudian urung sendiri. Sudahlah, lebih baik tidak usah dibahas lagi. Lagipula Orion sepertinya bukan tipe orang yang suka menggunjingkan orang. Ia pemuda yang kalem, pendiam dan terkesan tidak perdulian pada orang lain.

Setelah mengucapkan selamat malam dan terimakasih padanya, aku menutup pembicaraan. Ketika hendak mematikannya, aku ragu-ragu dan akhirnya urung. Kuletakkan HP-ku di meja samping tempat tidurku. Just in case kalau nanti Paris menelfon lagi ...

Setengah jam berlalu ... satu jam ... aku masih sulit memejamkan mata kembali. Aku meraih kotak CD Beyonce tadi, memasukan salah satu CD di dalamnya ke dalam discman dan langsung memutar lagu nomor dua.

"Everywhere I'm looking now
I'm surrounded by your embrace
Baby I can see your halo
You know you're my saving grace

You're everything I need and more
It's written all over your face
Baby I can feel your halo
Pray it won't fade away

I can feel your halo halo halo
I can see your halo halo halo
I can feel your halo halo halo
I can see your halo halo halo"


Tuhan ... aku mohon, jagalah Paris malam ini ...

Kamis, 11 Maret 2010

LOVE IS SUCK~

Aku menyodorkan segelas Black Russian kepada Paris. Dari sekian banyak pengunjung yang menghampiri mini bar ini, hanya Paris yang suka memesan cocktail dengan berbagai macam nama, yang untungnya aku masih bisa membuatnya, sepertinya kalo masalah minuman, selera Kent belum ada tandingannya di Kota Palem ini.

"Whiskey!" seru Paris. Aku menyodorkan segelas whiskey padanya. Belum lima menit.

"Segelas lagi!"

Setengah jam kemudian, aku melihatnya sudah mabuk.

"Lantis, sepertinya Paris mabuk."

Atlantis menghampiri sahabat baiknya itu.

"Paris, kamu besok tidak kerja?" tanya Atlantis.

"Kerrr jaa... hahahahaha, siapa yang butuh kerr jaaa"

Atlantis menggelengkan kepalanya.

"Jangan kau beri minuman lagi" seru Atlantis kepadaku. Aku mengangguk.

"Yonnn... segelas laagiii" pinta Paris.

"Kamu sudah mabuk. Baiknya kamu pulang sekarang" seruku.

"Aku tii dakk mabuk. Aku maa sihh ingin mii numm, segelas laa giii plissss."


Aku hanya menggelengkan kepalaku. Menurut Atlantis, Paris akan bertingkah seperti ini jika dia patah hati.



Jika mencintai itu terasa menyakitkan, buat apa jatuh cinta? Merepotkan saja.

Senin, 08 Maret 2010

FAIRY DUST

Minggu pagi itu rumah sepi. Papa dan Mama pergi berbelanja, sedangkan Erin ada janji dengan narasumbernya. Aku memanfaatkan sepinya pagi itu untuk membuat lemon tea dingin di dapur. Minuman itu adalah favoritku terutama saat cuaca terik seperti ini. Paris yang suka memesan cocktail dengan nama yang unik setiap kali kami sedang ngumpul di kafenya Lantis, selalu mengejekku kalau aku hanya minum lemon tea dingin atau hangat kalau sedang hujan. Hmm ... aku jadi ingat sama Paris lagi! Aku tersenyum dengan pikiran mulai menerawang ... membayangkan kalau saat itu Paris sedang duduk di seberang meja, menghirup kopi sambil sesekali tersenyum lembut padaku ...

Brakkk!!

Pintu didepan terbanting dengan keras, membuatku nyari saja menjatuhkan gelas yang sedang kupegang. “Brengsek!!” ada seseorang yang memaki dengan suara keras di ruang tamu. Erin, adikku. Aduh ... ada apa ya? Pikirku, jarang-jarang Erin marah sampai seperti ini. Kalaupun dia sedang adu mulut dengan Paris (yang entah kenapa betah banget ngajakin Erin berantem mulut sampai satu jam lebih) ia paling hanya akan mendengus sinis lalu buang muka kalau sudah tidak bisa menahan kekesalannya. Kalau sudah begitu, Paris pun (terpaksa) minta maaf karena aku juga akan melakukan aksi tutup mulut sebelum ia mengakui kesalahannya dan meminta maaf pada Erin.

Kejadian seperti itu sering banget terjadi kalau kami sedang ngumpul bareng di kafenya Lantis. Lantis juga sudah angkat tangan kalau Erin dan Paris mulai berantem mulut. Paling-paling Lantis hanya akan tersenyum penuh simpati padaku, lalu mengajakku duduk di bar untuk minum-minum, meninggalkan dua manusia ajaib itu menyelesaikan masalah mereka. “Sabar aja ya, Ndre! Gue juga punya adek cewek yang bawel banget ... jadi gue ngerti perasaan loe.” Kata Lantis. Ia kemudian meminta Orion membuatkan iced chocolate untuk menghiburku yang pusing setengah mati saat ‘terjebak’ diantara Paris dan Erin. Tempo hari, untuk kesekian kalinya Paris memancing Erin buat adu mulut dengan menceritakan pengalamannya menggaet cewek-cewek dengan *ahem* pesonanya sebagai seorang polisi yang ... ehhh ... tampan. Erin yang feminis banget itu kontan enggak terima, dia mencak-mencak sampai aku harus mengingatkannya kalau saat itu kami sedang berada di tempat umum. Untung saja saat itu Paris mengaku salah dan mau minta maaf duluan. Mereka kemudian menghampiriku yang sedang duduk di bar bareng Lantis dan Orion, untuk meminta maaf padaku.

“Loe enggak capek apa, ngajakin Erin berantem mulu?” tanyaku (separuh putus asa) pada Paris ketika Erin sedang pergi ke WC.
“Seru juga!” Paris mengangkat bahu, nyengir. “Adek loe itu cewek yang smart, galak tapi juga polos. Gue belom pernah ketemu cewek model dia.”
Ya, itulah adikku, Erin.

Selang beberapa detik kemudian, Erin masuk ke dapur dengan wajah siap membunuh. Tapi ketika melihatku, ekpresi galaknya perlahan luntur, menyisakan seraut wajah ngambek yang menggemaskan. “Sebel banget aku, Kak!” ia berjalan ke sebelahku lalu duduk di atas meja pantry. Untung Papa dan Mama sedang pergi, kalau enggak pasti Erin sudah kena omelan panjang-pendek.

“Kenapa?” tanyaku membelai rambut pendeknya untuk menenangkan emosinya.
“Narasumber yang aku temui, tiba-tiba aja enggak ada di rumah. Padahal aku sama temen-temen udah bela-belain berangkat dari jam 5 pagi dan cewek sialan itu juga udah bilang kalau dia bisa diwawancarai pagi-pagi!! Gak taunya begitu nyampe di sana, dia dengan entengnya ngebatalin wawancara karena katanya dia lagi enggak mood, brengsek gak sih?! Padahal kita udah bikin janji dari seminggu yang lalu!!” Erin meninju meja pantry dengan jengkel. Aduh ... pantas saja Erin sampai begitu marahnya, dia paling tidak suka kalau dirinya dibohongi dengan alasan apapun atau merasa dirinya dipermainkan.
“Tenang Rin ... ini minum dulu deh ya ...” aku menyodorkan gelas lemon tea dinginku. Setelah meminum hampir separuh gelas, Erin tampak mulai tenang. Ia mengatur nafasnya yang terengah-engah.
“Hhh ... bener-bener enggak bisa diterima, Kak!” diam-diam aku menghela nafas lega mendengar suara Erin sudah mulai terdengar seperti keluhan, tidak sebringas tadi. “Mana tadi dia bilang lagi ke aku dan temen-temen ‘kalau kalian enggak cocok sama cara saya ya sudah! Toh enggak ada gunanya juga saya masuk tabloid cupu kayak gitu!’ sialan banget kan, Kak? Dasar model kampungan!”
“Siapa memangnya?” tanyaku.
“Diva Permata Jelita, ralat, Permaisuri Diva Permata Jelita yang terhormat!” uar Erin sarkastis.
“Oh, model yang sedang naik daun itu?” tanyaku, Erin menjawab dengan satu senyuman penuh cela. Aku buru-buru menambahkan,“Hmm, kalau attitude-nya begitu terus ya ... susah.” Lanjutku. “Sabar ya, Rin ... kadang kejayaan itu suka bikin orang jadi ‘fly’ dan gak sadar sama sekeliling mereka. Kayak orang teler aja. Kita mau ladenin kayak apa ya susah, sama aja kan kayak kita ngajak ngomong orang mabok? Inget gak, ceritanya Paris waktu dia ketemu orang teler di klub apa gitu ...”
“Hahahaha!! Yang Paris pura-pura jadi supir limosin buat ngebawa orang itu ke posnya?” Erin tertawa mengingat cerita Paris waktu itu. Aku mengangguk sambil terkikik geli. Waktu itu Paris cerita ketika ia ketemu orang teler di salah satu klub tempat dia clubbing. Orang yang sudah mabuk berat itu teriak-teriak dan melempari semua orang dengan kaleng-kaleng bir, sambil berkata kalau dirinya adalah raja di tempat itu. Paris dan beberapa orang centeng di club itu sepakat untuk membawanya ke pos polisi tempat Paris bekerja. Paris berpura-pura menjadi supir mobil limosin yang akan membawa si ‘raja’ itu kembali ke kerajaan. Si orang mabuk itu pun tertawa senang, lalu menurut. Tapi ketika si orang mabuk yang mulai sadar itu melihat plang ‘POLISI’ di depan ‘istana’-nya itu, ia melarikan diri dari Paris ketika Paris mengeluarkannya dari jok belakang mobilnya. Paris enggak mau repot-repot mengejar, soalnya orang itu hanya berlari-lari mengelilingi lapangan depan posnya dan Paris tinggal menyuruh temannya untuk menjaga gerbang saja supaya orang itu tidak kabur.
Puncaknya adalah ketika orang itu menoleh ke arah Paris dan berteriak “kalian tidak akan menangkapku hidup-hidup!!” sebelum berlari kencang seperti celeng hutan, melompat bagai superman dan ... mendarat tepat di atas tong sampah raksasa. Kata Paris, teman-temannya yang kebagian tugas mengurus perkara itu kesulitan setengah mati untuk tetap serius ketika menceritakan kembali kejadian malam itu pada si pemabuk yang sudah sadar dan bertanya-tanya kenapa badannya bau bangkai tikus.
Lebih-lebih lagi, ada kejadian dimana ketika Paris meninggalkan pemabuk itu di sel, pemabuk itu tahu-tahu saja memeluk Paris dan berkata “Sun dulu dong!” nyari saja si pemabuk itu kena bogem mentah kalau Paris enggak menahan diri. Wajah si pemabuk yang sudah sadar itu semakin ‘priceless’ ketika seorang teman Paris berkata, “kamu inget tidak, kamu bilang apa pada Bapak yang ini?” sambil menunjuk Paris yang berdiri dengan senyum iblis di wajahnya. Sejak saat itu Paris enggak pernah lagi melihat orang itu di klub manapun yang ia kunjungi.
“Paling ngeselin emang kalau nanganin orang mabok, tapi si orang gila satu itu yang paling rese! Mana pake mau ngesun gue lagi! Enak aja! Kan enggak enak kalau gue nanti jadi mau minta nambah!” kata Paris sambil mengedipkan sebelah mata. Aku dan Erin tertawa geli sampai keluar air mata mendengarnya. Lantis yang sedang menelfon seorang mitra bisnisnya, kelepasan tertawa dan harus menjauhkan HP-nya dari telinga untuk beberapa saat.
“Yah, mungkin aja Kak Paris memang cocoknya sama cowok! Biar imbang! Habis selama ini cewek-cewek yang Kak Paris ceritain itu kayaknya terlalu ... hmm ... gampang!” komentar Erin ketika itu, menumpahkan sisa-sisa kekesalannya pasca adu mulut dengan Paris.
Paris tertawa ringan, sama sekali tidak tampak tersinggung. “Usul loe boleh gue tampung ... tapi mungkin tidak sekarang. Gue baru tau belakangan ini kalau enggak semua cewek itu ‘gampang’, Rin! Beberapa masih membuat gue penasaran untuk gue taklukan!” kata Paris, menyunggingkan senyum misteriusnya untuk membalas pelototan maut Erin.
“Ck! Udah deh! Kalau kalian mau adu mulut, terserah! Tapi aku enggak mau ikutan, lebih baik aku pulang aja!” ujarku menengahi situasi yang mulai panas lagi. Untungnya mereka berdua mau nurut dan mengganti bahan pembicaraan. Paris kemudian memesan cocktail lagi ke Orion sambil menyalakan rokoknya, sementara aku mengobrol dengan Lantis dan Erin, sesekali kami bertepuk tangan saat adiknya Lantis – Indie – selesai menyanyikan lagu-lagu andalannya di stage kafe.
Untunglah setelah mengingat cerita konyol Paris itu, Erin sudah mulai ceria lagi seperti biasanya. Ia kemudian mengajakku jalan-jalan untuk mengusir suntuk.
“Oke!” kataku. “Kita mau kemana hari ini?”
“Tergantung suasana hati!” jawab Erin, tersenyum lebar. “Ke taman kota, cari jajanan pinggir jalan ... kemana aja deh! Aku lagi pengen nyari suasana yang baru buat penyegaran!”
“Hehehe, asik juga ... sebentar, aku ganti baju dulu ya.”
“Asiik! Kakak emang cantik! Muah!” Erin mencium pipiku, lalu berlari riang keluar dari dapur.
Aku tersenyum pada diriku sendiri, dalam hati bersyukur memiliki adik tiri seperti Erin. Gadis itu begitu penuh dengan kehidupan. ‘full of life’, istilahnya. sikapnya bebas-lepas namun wajar. Canda dan tawa Erin tidak pernah gagal menulari sekelilingnya dengan keceriaannya yang polos.
Awalnya aku sempat takut-takut ketika Mama memutuskan untuk menikah lagi dengan Papa Erin, aku takut Erin akan menolakku dan menganggapku sebagai musuh. Tapi ternyata tidak, Erin cepat akrab dengan Mama, ia juga berkata kalau dari dulu ia ingin sekali punya kakak cewek yang bisa ia ajak curhat. Bahkan, di pertemuan pertama kami, Erin langsung bertanya apakah ia boleh langsung memanggilku ‘Kakak’. Hal itu membuatku nyaris saja menitikkan air mata karena terharu. Baru sekali itu ada orang yang sepertinya menerimaku dengan begitu tulus, tanpa syarat.
Ajaib banget, kuakui, bagaimana kehadiran Erin mengubah kehidupanku. Dalam waktu singkat, semua kekelaman yang ditimbulkan Papa Rhio menghilang begitu saja. Aku bukan lagi si gadis cilik tolol yang sering melakukan kesalahan dan membuat jengkel Papa Rhio, melainkan bagian dari keluarga yang begitu hangat dan penuh keceriaan. Aku merasakan perasaan yang dirindukan setiap orang, menyayangi dan disayangi.
Dalam hati, aku menjuluki Erin si ‘peri kecil’ karena keistimewaannya itu. Saat ia berlari lincah keluar dari dapur tadi, dengan mudah aku bisa membayangkan sepasang sayap mengepak riang di punggungnya dan serbuk peri serupa glitter berjatuhan di belakangnya.
Aku yakin, hari minggu ini pasti bakal menyenangkan banget kalau aku melewatinya dengan si peri kecilku ini!

ATLANTIS

Diawali dengan sebuah perjalanan panjang yang melelahkan. Aku menemukan tempat ini. Sebuah tempat yang sangat mempesonakanku saat itu dan sampai saat ini. Perasaan nyaman, tenang dan damai yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya telah menghanyutkanku dalam menjalani kehidupanku sekarang di tempat ini. Aku sempat bertanya-tanya pada diriku sendiri "Apakah tempat ini nyata?". Pantai yang teduh dengan banyaknya pohon kelapa di sepanjang bibir pantai, ombak yang tidak terlalu besar, pasir yang putih dan mengkilat terkena sinar matahari, wangi laut yang menyegarkan seakan membuat diriku tambah bersemangat. Saat aku memandang sekelilingnya dan memejamkan mata sejenak, semua terasa berjalan sangat lambat bagiku. Dan ketika aku memejamkan mata lebih dalam lagi, aku merasakan hembusan angin membelai kulitku, menyibak rambutku, seakan-akan menerbangkanku menuju tempat yang sangat indah. Tapi aku tahu, tempat ini akan menjadi sebuah latar cerita kehidupanku dan orang-orang yang berada disini saat ini, esok dan yang akan datang. Aku berharap cerita itu akan selalu tetap menyenangkan, tetapi aku juga tahu bahwa tidak ada cerita yang selamanya akan menyenangkan.

Semuanya berawal dari ketertarikanku pada tempat ini, tidak banyak kegiatan berlangsung di sekitarnya. Hal ini memberiku inspirasi untuk memberikan tempat ini sebuah "nyawa". "nyawa" yang bisa membuat tempat ini semakin menarik untuk dinikmati, semakin menggoda untuk dilihat dan semakin menggairahkan untuk tetap berada disini. Akhirnya, dengan mempertaruhkan sebagian besar uang yang telah aku kumpulkan dari penghasilanku selama bertahun-tahun dan dengan hasrat yang sangat besar pada tempat ini, aku putuskan membuat sebuah tempat bagi orang-orang penuh hasrat bersosialisasi, sebuah tempat yang penuh kejutan di dalamnya, dan sebuah tempat yang menurutku akan menjadi "jantung" dari lingkungan ini. "Kafe Se7en Oceans".

Let's feel the wave of the oceans...........

Minggu, 07 Maret 2010

HARI GANTENG

Hari ini "hari ganteng" gw. Ada kalanya hari jenis ini muncul…err…kalo gw bilang "ada kalanya" itu artinya "sering". Ehm, "Hari ganteng" terjadi bila: pertama, kalo ada yang mereferensikan gw secara eksplisit dengan kata-kata "manis", "lucu", "cakep"; dan kedua, setiap gw merasa aja. Kenapa kalian protes? Kalo nggak suka, silakan bikin "hari ganteng" lo sendirilah!


Gw mendorong pintu SOS, itu sebutan gw untuk Kafe SE7EN OCEANS. Malam Senin seperti sekarang biasanya Kafe sepi, waktu favorit gw. Eits, jangan kira gw bukan anak gaul. Silakan cek di kampus atau hotspot paling happening di Palem, semua cewek pasti kenal atau minimal taulah, secara nama "Ariel" sudah melegenda. Tapi, "every star needs his break" lebih-lebih di Minggu malam.


"Orion, satu long island dengan es, please!", tanpa basa-basi gw langsung menempati kursi di ujung bar.


"Indie, Ariel….Orion lagi off hari ini", sebuah suara menyahut dari balik bar. Gw melongok dan nampak Indie sedang berlutut mengambil gelas dari rak.


"Hola, Ndie!" kataku jaim. Entah kenapa dengan cewek satu ini gw nggak bisa jadi Ariel yang biasanya, padahal sudah kenal sejak masa orientasi kampus. Indie, satu-satunya cewek yang nggak pernah bilang gw "ganteng", satu-satunya cewek yang menolak ajakan makan siang gw, makan malam juga, sarapan apalagi >.<. Pipi cewek ini juga nggak pernah merah saat gw tatap, malah dia cewek pertama yang buat kuping gw merah…pokoknya Indie berbeda karena dia nggak tertarik dengan gw!


Tiba-tiba gw merasa kalo "hari ganteng" itu sudah berakhir….

Jumat, 05 Maret 2010

FRIDAY ONCE MORE~

Aku selalu menyukai hari Jum'at, bagiku hari Jum'at bagaikan hari keberuntungan untukku.

Aku menatap ke arah sebuah kafe, tertarik dengan tulisan besar LOWONGAN KERJA yang ditempel di depan pintunya.

"Bartender?" tanyaku.
"Ya. Saya membutuhkan seorang bartender. Tidak perlu sangat berpengalaman, sedikit tau meracik minuman saja, ini juga bukan Kafe yang sangat terkenal." jawab Manajer Kafe tersebut.
"Aku tau beberapa cocktail klasik seperti Black Russian, Blue Lagoon, Bronx, Long Island Tea, Pina Colada, White Lady, dan beberapa Smoothies." jawabku, sewaktu tinggal bersama Kent, aku banyak belajar meracik minuman karena Kent penyuka cocktail.
"Wow! Itu lumayan baik, apakah kau pernah bekerja di bar?"
"Tidak, kebetulan dulu temanku penggemar minuman, dia mengajariku meracik minuman." jawabku.
"Baiklah, besok kau bisa mulai bekerja. Kau bekerja pukul 7 malam sampai dengan pukul 2 dini hari. Siapa namamu?"
"Orion. Orion Rigel."
"Salam kenal Orion. Aku Atlantis. Manajer sekaligus pemilik Kafe SE7EN OCEANS."

Itu adalah kejadian di hari Jum'at hampir setahun yang lalu, tepat sebulan setelah aku memutuskan tinggal di Kota Palem, meninggalkan Jakarta. Meninggalkan Kent dan Amanda.

Senin, 22 Februari 2010

YELLOW~

Hari ini aku memotong rambutku, entah mengapa rasanya aku ingin mengubah penampilan, sedikit merapikan diri, sebagai seorang bartender, sudah sewajarnya aku harus tampil charming demi menarik minat pengunjung kafe.

Aku mendengarkan lagu di i-pod nano, pemberian Amanda sebagai hadiah ulang tahun, mengalun lagu Yellow-nya Coldplay, rasanya hatiku sesak. 1 tahun yang lalu aku pernah menyanyikan lagu ini bersama Kent, aku tidak menyangka, meski sudah 10 bulan, aku masih tidak bisa melupakan mereka, padahal mereka hanya mengisi 2 tahun dalam rentang hidupku.

look at the stars,
look how they shine for you,
and everything you do,
yeah they were all yellow,

I came along
I wrote a song for you
and all the things you do
and it was called yellow

so then I took my turn
oh all the things I've done
and it was all yellow

your skin
oh yeah your skin and bones
turn into something beautiful
d'you know you know I love you so
you know I love you so

I swam across
I jumped across for you
oh all the things you do
cause you were all yellow

I drew a line
I drew a line for you
oh what a thing to do
and it was all yellow

your skin
oh yeah your skin and bones
turn into something beautiful
d'you know for you I bleed myself dry
for you i bleed myself dry

it's true look how they shine for you
look how they shine for you
look how they shine for you
look how they shine for you
look how they shine for you
look how they shine
look at the stars look how they shine for you

"Kent.. masihkah kau menyayangiku?"

ANDREA #1

Ketika akhirnya memutuskan untuk menutup naskah novel baru yang sedang kuketik, jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih. Mataku pedih karena kelamaan memelototi desktop komputer. Tadi Mama akhirnya menyerah setelah tiga kali menyuruhku untuk berhenti mengetik dan beristirahat, tapi aku tidak menunjukkan tanda-tanda akan menurut. Akhirnya Mama menyerah. Beliau tahu persis kalau dari dulu, kalau aku sedang asyik menulis maka mau ada gempa bumi sekalipun aku enggak akan beranjak. Sudah sejak tiga jam yang lalu aku terus mengetik tanpa jeda dan kini aku hanya ingin segera tidur panjang mumpung besok hari Minggu.

“Mbak Andrea? Mbak?” Mbak Asih, pembantu di rumah kami, tiba-tiba memasuki ruang baca dengan langkah tergopoh. “Ada yang cari, Mbak ... polisi ...” suara gadis berusia sembilan belas tahun itu bergetar saat mengatakan ‘polisi’.
“Oh ya?” aku mengangkat alis. Mbak Asih mengangguk gugup, aku menahan tawa. Mbak Asih adalah salah satu dari sekian juta penggemar sinetron di tanah air, aku yakin saat itu berbagai macam skenario tidak mengenakkan sudah berseliweran di kepalanya. Mungkin ia menyangka aku terlibat kasus geng motor yang sedang ngetren saat itu atau apa.

Aku berdecak gemas, lalu mematikan komputer. Setelah mengucapkan terimakasih pada Mbak Asih, aku segera beranjak ke ruang tamu dan kemudian menyapa orang yang saat itu sedang duduk bersilang kaki di sofa tamu. “Hai, Paris.”

Paris nama orang itu. Ia dulu teman sekelasku saat SMA. Dulu, dia sering banget menjahili cewek-cewek di kelas termasuk aku. Hanya aku yang membuatnya angkat tangan karena masih bisa menjawabnya dengan tenang sementara cewek-cewek yang lain sudah menjerit-jerit bahkan menangis saking kesalnya. Sejak lulus SMA, ia masuk akademi kepolisian dan harapanku agar sikapnya berubah setelah ia dilantik pun sia-sia. Ia masih tetap Paris yang kukenal dulu: petakilan, emosian, playboy kelas dunia dan ... ehh ... mempesona. Ia tersenyum manis saat melihatku. “Selamat malam, Cantik!” sapanya mengedipkan sebelah mata.

“Selamat malam...” balasku tenang. Aku sudah biasa menghadapi segala macam rayuan gombalnya sejak SMA, hal itu membuat Paris sering menjulukiku si ‘Poker Face’ karena wajahku datar-datar saja walau ia memujiku setinggi langit. Andai saja ia tahu kalau saat itu jantungku berdetak lebih cepat saat melihat senyum nakalnya ...

Paris tertawa, tidak bosan-bosannya memamerkan lekukan di pipinya. “Malam Minggu begini kok dirumah aja sih?” belum sempat aku menjawab, ia sudah bicara lagi. “Maaf ya Andrea Cantik ... malam ini gue harus gantiin temen gue tugas, jadi enggak bisa ngajak loe ngedate deh! Enggak marah kan?”

Aku tertawa lepas. “Loe itu ya ... dari SMA enggak pernah berubah. Masih aja suka menggombal. Ini juga lagi, habis kerja bukannya langsung pulang terus istirahat malah kelayapan. Rumah loe jauh kan, di-...”
“Halah! Loe sendiri masih aja kayak dulu. Sok tua!” cibir Paris. “Dari dulu gue udah curiga, loe itu pasti sebenernya udah nenek-nenek! Mana coba liat sini? Wahhh .. bener! Rambut loe udah beruban!”
Tahu-tahu saja tubuh tinggi kekarnya sudah mendarat di sebelahku, lalu tangannya bergerak membelai rambutku. Di jarak sedekat ini aku bisa menghirup wangi parfumnya yang entah bagaimana caranya masih begitu harum walau ia habis bertugas malam. Aku pura-pura menunduk melindungi kepalaku, padahal aku enggak berani mendongak gara-gara aku tahu wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja dari wajahku. Mendadak ingatan beberapa tahun yang lalu melintas di kepalaku ...

“Andrea?? Kenapa nangis?? Siapa yang bikin loe nangis, hah?? Bilang gue!!”
“Sst, Paris! Please, jangan bikin drama di sini ...”
“Bilang ke gue siapa yang bikin loe nangis, Ndre! Biar gue hajar tuh orang sial!!”
“....”
“Ndre? Andrea?”
Tahu-tahu saja tangannya memelukku dan menyandarkan kepalaku di bahunya. “Udah, loe jangan bicara dulu ... loe tenangin diri loe. Ada gue disini, Ndre. Ada gue... gue gak bakalan biarin siapapun nyakitin loe.” bisiknya lembut di telingaku. Paris ... cowok yang selama ini dikenal tempramental dan suka kelewatan kalau bercanda itu, kini tampak seperti sosok ksatria pemberani yang pernah kubaca di buku-buku. Di dalam pelukannya saat itu aku merasa begitu tenang dan aman ... seolah tidak ada satupun yang bisa menyakitiku. Saat itu aku merasa seperti anak kecil, aku ingin sekali mengadukan soal Papa Rhio – Papa tiriku – yang menatapku penuh kebencian setelah tahu kalau aku memilih untuk ikut Mama setelah mereka resmi bercerai nanti.
“Kalau itu keputusan kamu, baik. Mulai sekarang, jangan panggil aku ‘Papa’ lagi! Kamu dan Mamamu itu sama saja! Sama-sama tidak pernah menghargaiku di rumah ini! Asal tahu saja kalau aku tidak menikah dengan Mama kamu, kalian tetap terlunta-lunta di toko kue bobrok itu selamanya! Pergi sana! Aku tidak mau melihat wajah kalian lagi! Perempuan-perempuan tidak tahu diuntung!” kata-kata itu terus terngiang di telingaku sampai saat ini. Aku ingin menceritakannya pada Paris, seperti anak kecil yang jatuh saat bermain dan ingin sekali mengadu pada ibunya ..
Namun itu tidak aku lakukan. Aku tahu kalau aku mengatakannya, Paris mungkin akan ‘meledak’ lagi, ia pasti akan memaki-maki Papa Rhio dengan kasar dan bahkan mungkin nekad menghajarnya. Aku tidak mau melihat sisi ‘brutal’ Paris saat itu. Inilah sisi dalam diri Paris yang aku sukai dan aku tidak mau cepat-cepat membuatnya lenyap. Aku hanya ingin waktu berhenti, agar aku bisa berada di dalam pelukannya, selamanya ...

“Eh-ehem!” oh tidak! Itu suara Mama! Bukannya tadi Mama sudah mau tidur? Aku menggeser dudukku menjauhi Paris sambil berusaha tidak terlihat salah tingkah di depan Mama.
“Eh ... Tante!” Paris nyengir tanpa sedikitpun tampak canggung. “Malam Tante! Wah, Tante makin hari makin muda aja kayaknya!”
“Ah, kamu itu!” bahkan Mama pun tidak bisa menahan senyum kalau berhadapan dengan Paris. “Tante kira siapa, bertamu malam-malam begini nyari Andrea ...” Mama tersenyum penuh arti ke arah kami berdua.
“Namanya juga calon menantu, Tante!” jawab Paris. Ya Tuhan ...! Apa sih maksud dia itu? Apa ini semacam ‘hint’ untuk ... stop! Jangan ge-er dulu, Andrea! Kamu kan tahu Paris itu seperti apa!
“Saya cuma sebentar aja kok, Tante! Memastikan kalau di sini dan sekitarnya aman terkendali! Eh, ngomong-ngomong si Erin mana?” tanya Paris.
“Erin sedang menginap di rumah temannya. Besok ia dan teman-temannya harus berangkat pagi-pagi untuk menemui narasumber.” Jawab Mama mendahuluiku.
“Oh begitu. Nanti salam buat Erin ya Tante! Salam juga buat Oom! Hehehe ... saya permisi dulu ya, Tante!” Paris bangkit dari duduknya. Mata elangnya kembali beradu pandang denganku. “Daag, Ndre ...”
“Iya. Hati-hati di jalan ya ...” balasku, walau enggan. Hhh .. andai saja ini masih jam 3 sore, aku mungkin akan menawari Paris untuk makan malam sekalian di rumah. Aku masih ingin berada di sampingnya, mendengarkan candaannya, melihat senyum dan tawanya yang lepas bebas seperti debur ombak di lautan luas ...

Ketika kembali ke kamar, aku menghirup lengan cardigansku yang tadi sempat bersentuhan dengan Paris. Wangi cologne-nya masih tertinggal di sana. Aku seperti masih bisa melihat Paris di sebelahku, tersenyum dan tertawa sambil mengacak-acak rambutku ... aku tersenyum sambil berbaring menatap langit-langit kamarku. Ah iya, tadi HP-ku masih tertinggal di ruang baca kan? Ada sms dari Atlantis tadi, menanyakan keadaanku. Ah sudahlah, kubalas besok saja. Mataku sudah terasa sangat berat ... lagipula Atlantis juga mungkin sudah tidur setelah seharian ini mengawasi kafe 7 Oceans.

Hmm ... ocean ... laut lepas ... ombak ... Paris ...

Aku memejamkan mata perlahan ... semoga aku bermimpi indah tentangnya malam ini!

Jumat, 19 Februari 2010

MY NAME IS ORION~

Aku baru aja akan menyelesaikan pekerjaanku dan pulang dari Se7en Oceans. Malam ini banyak pengunjung kafe, Lantis bahkan ikut kerepotan membantuku, meski capek tapi aku bergairah sekali malam ini. Setidaknya aku bisa melupakan masalah Kent. Hufthhh, sudah hampir setahun aku tinggal di Kota Palem, meninggalkan Jakarta, Kent, dan Amanda. Aku tau aku akan merasa sangat sedih saat meninggalkan mereka, tetapi aku tidak punya pilihan lain, aku tidak ingin menyakiti hati Amanda, terutama Kent, biarlah aku yang pergi.

Malam ini Indie menyanyikan lagu di kafe, kadang kala aku berpikir, ada baiknya jika dia ikut serta dalam lomba pencarian bakat seperti Indonesian Idol, suaranya sangat merdu, terutama saat menyanyikan lagu "Cant Take My Eyes Off You" tadi, dia sering menatapku dan tersenyum, membuatku teringat akan Amanda, shit!!! Kenapa sih aku tidak bisa mengubur masa lalu itu???

"Rion, gimana lagu tadi?" tanya Indie padaku.
"Bagus, kenapa kamu ga ikutan Idol aja Dee? Pasti kamu bisa menang" pujiku.
"Masa sih? Kamu bisa aja deh kalo memuji" serunya tersenyum.
Aku menyodorkan segelas lemonade kepadanya.

"Huh, dia kan nyanyi bagus cuma kalo ada kamu Rion, biasanya, suaranya juga jelek!" cibir Ariel.
"Aku ga butuh pendapat kamu Riel!!" hardik Indie.
"Eh beneran, ga liat tadi matanya ngelirik-lirik kamu Yon, Indie ini diem-diem naksir kamu!"
"ARIEL!!!!" Indie membentak Ariel.
Ariel memang suka mempermainkan Indie, tentu saja mereka akrab, mereka satu kampus, tetapi keakraban mereka sebenarnya seringkali dalam persoalan adu mulut hahahaha, jika melihat mereka, aku jadi terkenang Kent dan Amanda. Damn! Lagi-lagi..

"Rion, besok temenin aku jalan-jalan yok?" ajak Indie.
"Ga bisa Dee, besok aku mau istirahat, malam ini terlalu capek, aku juga belum menyelesaikan tugas komputerku"
"Kenapa sih susah banget kamu diajak jalan? Selalu saa ada alasan" Indie merajuk.
"Bukannya begitu Dee. Waktunya aja yang kurang tepat" jawabku. Jujur, memang aku menghindari kebersamaan dengan Indie, aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, karena aku tau, meski Ariel suka meledek Indie, Ariel menyukai Indie.
"Iya deh. Lagian aku ga mau maksain kamu, yaa terpaksa deh besok minta ditemenin Ariel" keluh Indie.
"Siapa yang mau nemenin loe? Pede amat" cibir Ariel.
"Jelek!! Awas ya!" Indie menimpuk kepala Ariel dengan majalah yang dipegangnya.
Aku tertawa melihat tingkah laku kedua orang itu.

"Dee, jangan seperti itu. Ga baik dan ga sopan!" tegur Atlantis.
Indie cemberut dan menyeret Ariel.
"Riel kita pulang aja yok, Abang nyebelin malem ini, huh"
"Bang Lantis, Rion, kami pulang dulu ya" seru Ariel mengikuti Indie yang setengah menyeretnya.

"Aku ga ngerti ngeliat tingkah laku anak muda sekarang" keluh Atlantis.
"Sabar Boss, namanya juga anak muda, umur mereka kan masih 17-an, wajar jika terlihat masih kekanakan" jawabku.
"Jaman cepat sekali berubah Yon. Kamu sudah mau pulang?"
"Iya, apakah masih butuh bantuanku?"
"Kamu pulang duluan gak apa-apa. Aku masih ada yang dikerjakan. Maaf, malam ini merepotkanmu."
"Itu kan pekerjaanku Boss" jawabku.
"Kita ini teman Yon, kamu ga perlu memanggilku Boss"
"Oke Lantis, aku bantu membereskan dan menyusun kursi ya, biar kita sama-sama pulangnya"
"Terima kasih Yon"
"Gak gratis kok, aku butuh tumpangan sampai ke apartemenku hehehehe"
"Gampang, kita juga searah"

Aku membantu Atlantis merapikan Kafe Se7en Oceans sebelum ditutup. Hari ini aku tidak melihat Paris, Andrea maupun Erin, padahal akhir pekan biasanya mereka suka berkumpul di sini.

"Yon, sudah selesai, aku mau mengunci pintu" panggil Atlantis.
"Iya, aku juga sudah selesai."

Aku mengikuti Atalantis yg sudah menyalakan mobilnya. memandang sejenak ke arah Se7en Oceans. Setelah 3 bulan, aku akhirnya meyakinkan diri, ini adalah tempat baruku. Aku akan memulai hidup baru di sini. Dengan lebaran baru dan teman baru.