Se7en Oceans adalah nama sebuah kafe di Kota Palem. Tempat 7 pribadi yang berbeda satu sama lain dengan karakter dan background yang berbeda duduk bercengkrama dan berbagi kehidupan. Ini sebuah kisah asmara, pertemanan, sahabat, kehidupan, penemuan jati diri, dan lainnya dari 7 orang yang berbeda latar belakang. Mereka adalah Orion, Atlantis, Paris, Ariel, Andrea, Erin, dan Indie. Feel the wave of the oceans..

Senin, 22 Februari 2010

YELLOW~

Hari ini aku memotong rambutku, entah mengapa rasanya aku ingin mengubah penampilan, sedikit merapikan diri, sebagai seorang bartender, sudah sewajarnya aku harus tampil charming demi menarik minat pengunjung kafe.

Aku mendengarkan lagu di i-pod nano, pemberian Amanda sebagai hadiah ulang tahun, mengalun lagu Yellow-nya Coldplay, rasanya hatiku sesak. 1 tahun yang lalu aku pernah menyanyikan lagu ini bersama Kent, aku tidak menyangka, meski sudah 10 bulan, aku masih tidak bisa melupakan mereka, padahal mereka hanya mengisi 2 tahun dalam rentang hidupku.

look at the stars,
look how they shine for you,
and everything you do,
yeah they were all yellow,

I came along
I wrote a song for you
and all the things you do
and it was called yellow

so then I took my turn
oh all the things I've done
and it was all yellow

your skin
oh yeah your skin and bones
turn into something beautiful
d'you know you know I love you so
you know I love you so

I swam across
I jumped across for you
oh all the things you do
cause you were all yellow

I drew a line
I drew a line for you
oh what a thing to do
and it was all yellow

your skin
oh yeah your skin and bones
turn into something beautiful
d'you know for you I bleed myself dry
for you i bleed myself dry

it's true look how they shine for you
look how they shine for you
look how they shine for you
look how they shine for you
look how they shine for you
look how they shine
look at the stars look how they shine for you

"Kent.. masihkah kau menyayangiku?"

ANDREA #1

Ketika akhirnya memutuskan untuk menutup naskah novel baru yang sedang kuketik, jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih. Mataku pedih karena kelamaan memelototi desktop komputer. Tadi Mama akhirnya menyerah setelah tiga kali menyuruhku untuk berhenti mengetik dan beristirahat, tapi aku tidak menunjukkan tanda-tanda akan menurut. Akhirnya Mama menyerah. Beliau tahu persis kalau dari dulu, kalau aku sedang asyik menulis maka mau ada gempa bumi sekalipun aku enggak akan beranjak. Sudah sejak tiga jam yang lalu aku terus mengetik tanpa jeda dan kini aku hanya ingin segera tidur panjang mumpung besok hari Minggu.

“Mbak Andrea? Mbak?” Mbak Asih, pembantu di rumah kami, tiba-tiba memasuki ruang baca dengan langkah tergopoh. “Ada yang cari, Mbak ... polisi ...” suara gadis berusia sembilan belas tahun itu bergetar saat mengatakan ‘polisi’.
“Oh ya?” aku mengangkat alis. Mbak Asih mengangguk gugup, aku menahan tawa. Mbak Asih adalah salah satu dari sekian juta penggemar sinetron di tanah air, aku yakin saat itu berbagai macam skenario tidak mengenakkan sudah berseliweran di kepalanya. Mungkin ia menyangka aku terlibat kasus geng motor yang sedang ngetren saat itu atau apa.

Aku berdecak gemas, lalu mematikan komputer. Setelah mengucapkan terimakasih pada Mbak Asih, aku segera beranjak ke ruang tamu dan kemudian menyapa orang yang saat itu sedang duduk bersilang kaki di sofa tamu. “Hai, Paris.”

Paris nama orang itu. Ia dulu teman sekelasku saat SMA. Dulu, dia sering banget menjahili cewek-cewek di kelas termasuk aku. Hanya aku yang membuatnya angkat tangan karena masih bisa menjawabnya dengan tenang sementara cewek-cewek yang lain sudah menjerit-jerit bahkan menangis saking kesalnya. Sejak lulus SMA, ia masuk akademi kepolisian dan harapanku agar sikapnya berubah setelah ia dilantik pun sia-sia. Ia masih tetap Paris yang kukenal dulu: petakilan, emosian, playboy kelas dunia dan ... ehh ... mempesona. Ia tersenyum manis saat melihatku. “Selamat malam, Cantik!” sapanya mengedipkan sebelah mata.

“Selamat malam...” balasku tenang. Aku sudah biasa menghadapi segala macam rayuan gombalnya sejak SMA, hal itu membuat Paris sering menjulukiku si ‘Poker Face’ karena wajahku datar-datar saja walau ia memujiku setinggi langit. Andai saja ia tahu kalau saat itu jantungku berdetak lebih cepat saat melihat senyum nakalnya ...

Paris tertawa, tidak bosan-bosannya memamerkan lekukan di pipinya. “Malam Minggu begini kok dirumah aja sih?” belum sempat aku menjawab, ia sudah bicara lagi. “Maaf ya Andrea Cantik ... malam ini gue harus gantiin temen gue tugas, jadi enggak bisa ngajak loe ngedate deh! Enggak marah kan?”

Aku tertawa lepas. “Loe itu ya ... dari SMA enggak pernah berubah. Masih aja suka menggombal. Ini juga lagi, habis kerja bukannya langsung pulang terus istirahat malah kelayapan. Rumah loe jauh kan, di-...”
“Halah! Loe sendiri masih aja kayak dulu. Sok tua!” cibir Paris. “Dari dulu gue udah curiga, loe itu pasti sebenernya udah nenek-nenek! Mana coba liat sini? Wahhh .. bener! Rambut loe udah beruban!”
Tahu-tahu saja tubuh tinggi kekarnya sudah mendarat di sebelahku, lalu tangannya bergerak membelai rambutku. Di jarak sedekat ini aku bisa menghirup wangi parfumnya yang entah bagaimana caranya masih begitu harum walau ia habis bertugas malam. Aku pura-pura menunduk melindungi kepalaku, padahal aku enggak berani mendongak gara-gara aku tahu wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja dari wajahku. Mendadak ingatan beberapa tahun yang lalu melintas di kepalaku ...

“Andrea?? Kenapa nangis?? Siapa yang bikin loe nangis, hah?? Bilang gue!!”
“Sst, Paris! Please, jangan bikin drama di sini ...”
“Bilang ke gue siapa yang bikin loe nangis, Ndre! Biar gue hajar tuh orang sial!!”
“....”
“Ndre? Andrea?”
Tahu-tahu saja tangannya memelukku dan menyandarkan kepalaku di bahunya. “Udah, loe jangan bicara dulu ... loe tenangin diri loe. Ada gue disini, Ndre. Ada gue... gue gak bakalan biarin siapapun nyakitin loe.” bisiknya lembut di telingaku. Paris ... cowok yang selama ini dikenal tempramental dan suka kelewatan kalau bercanda itu, kini tampak seperti sosok ksatria pemberani yang pernah kubaca di buku-buku. Di dalam pelukannya saat itu aku merasa begitu tenang dan aman ... seolah tidak ada satupun yang bisa menyakitiku. Saat itu aku merasa seperti anak kecil, aku ingin sekali mengadukan soal Papa Rhio – Papa tiriku – yang menatapku penuh kebencian setelah tahu kalau aku memilih untuk ikut Mama setelah mereka resmi bercerai nanti.
“Kalau itu keputusan kamu, baik. Mulai sekarang, jangan panggil aku ‘Papa’ lagi! Kamu dan Mamamu itu sama saja! Sama-sama tidak pernah menghargaiku di rumah ini! Asal tahu saja kalau aku tidak menikah dengan Mama kamu, kalian tetap terlunta-lunta di toko kue bobrok itu selamanya! Pergi sana! Aku tidak mau melihat wajah kalian lagi! Perempuan-perempuan tidak tahu diuntung!” kata-kata itu terus terngiang di telingaku sampai saat ini. Aku ingin menceritakannya pada Paris, seperti anak kecil yang jatuh saat bermain dan ingin sekali mengadu pada ibunya ..
Namun itu tidak aku lakukan. Aku tahu kalau aku mengatakannya, Paris mungkin akan ‘meledak’ lagi, ia pasti akan memaki-maki Papa Rhio dengan kasar dan bahkan mungkin nekad menghajarnya. Aku tidak mau melihat sisi ‘brutal’ Paris saat itu. Inilah sisi dalam diri Paris yang aku sukai dan aku tidak mau cepat-cepat membuatnya lenyap. Aku hanya ingin waktu berhenti, agar aku bisa berada di dalam pelukannya, selamanya ...

“Eh-ehem!” oh tidak! Itu suara Mama! Bukannya tadi Mama sudah mau tidur? Aku menggeser dudukku menjauhi Paris sambil berusaha tidak terlihat salah tingkah di depan Mama.
“Eh ... Tante!” Paris nyengir tanpa sedikitpun tampak canggung. “Malam Tante! Wah, Tante makin hari makin muda aja kayaknya!”
“Ah, kamu itu!” bahkan Mama pun tidak bisa menahan senyum kalau berhadapan dengan Paris. “Tante kira siapa, bertamu malam-malam begini nyari Andrea ...” Mama tersenyum penuh arti ke arah kami berdua.
“Namanya juga calon menantu, Tante!” jawab Paris. Ya Tuhan ...! Apa sih maksud dia itu? Apa ini semacam ‘hint’ untuk ... stop! Jangan ge-er dulu, Andrea! Kamu kan tahu Paris itu seperti apa!
“Saya cuma sebentar aja kok, Tante! Memastikan kalau di sini dan sekitarnya aman terkendali! Eh, ngomong-ngomong si Erin mana?” tanya Paris.
“Erin sedang menginap di rumah temannya. Besok ia dan teman-temannya harus berangkat pagi-pagi untuk menemui narasumber.” Jawab Mama mendahuluiku.
“Oh begitu. Nanti salam buat Erin ya Tante! Salam juga buat Oom! Hehehe ... saya permisi dulu ya, Tante!” Paris bangkit dari duduknya. Mata elangnya kembali beradu pandang denganku. “Daag, Ndre ...”
“Iya. Hati-hati di jalan ya ...” balasku, walau enggan. Hhh .. andai saja ini masih jam 3 sore, aku mungkin akan menawari Paris untuk makan malam sekalian di rumah. Aku masih ingin berada di sampingnya, mendengarkan candaannya, melihat senyum dan tawanya yang lepas bebas seperti debur ombak di lautan luas ...

Ketika kembali ke kamar, aku menghirup lengan cardigansku yang tadi sempat bersentuhan dengan Paris. Wangi cologne-nya masih tertinggal di sana. Aku seperti masih bisa melihat Paris di sebelahku, tersenyum dan tertawa sambil mengacak-acak rambutku ... aku tersenyum sambil berbaring menatap langit-langit kamarku. Ah iya, tadi HP-ku masih tertinggal di ruang baca kan? Ada sms dari Atlantis tadi, menanyakan keadaanku. Ah sudahlah, kubalas besok saja. Mataku sudah terasa sangat berat ... lagipula Atlantis juga mungkin sudah tidur setelah seharian ini mengawasi kafe 7 Oceans.

Hmm ... ocean ... laut lepas ... ombak ... Paris ...

Aku memejamkan mata perlahan ... semoga aku bermimpi indah tentangnya malam ini!

Jumat, 19 Februari 2010

MY NAME IS ORION~

Aku baru aja akan menyelesaikan pekerjaanku dan pulang dari Se7en Oceans. Malam ini banyak pengunjung kafe, Lantis bahkan ikut kerepotan membantuku, meski capek tapi aku bergairah sekali malam ini. Setidaknya aku bisa melupakan masalah Kent. Hufthhh, sudah hampir setahun aku tinggal di Kota Palem, meninggalkan Jakarta, Kent, dan Amanda. Aku tau aku akan merasa sangat sedih saat meninggalkan mereka, tetapi aku tidak punya pilihan lain, aku tidak ingin menyakiti hati Amanda, terutama Kent, biarlah aku yang pergi.

Malam ini Indie menyanyikan lagu di kafe, kadang kala aku berpikir, ada baiknya jika dia ikut serta dalam lomba pencarian bakat seperti Indonesian Idol, suaranya sangat merdu, terutama saat menyanyikan lagu "Cant Take My Eyes Off You" tadi, dia sering menatapku dan tersenyum, membuatku teringat akan Amanda, shit!!! Kenapa sih aku tidak bisa mengubur masa lalu itu???

"Rion, gimana lagu tadi?" tanya Indie padaku.
"Bagus, kenapa kamu ga ikutan Idol aja Dee? Pasti kamu bisa menang" pujiku.
"Masa sih? Kamu bisa aja deh kalo memuji" serunya tersenyum.
Aku menyodorkan segelas lemonade kepadanya.

"Huh, dia kan nyanyi bagus cuma kalo ada kamu Rion, biasanya, suaranya juga jelek!" cibir Ariel.
"Aku ga butuh pendapat kamu Riel!!" hardik Indie.
"Eh beneran, ga liat tadi matanya ngelirik-lirik kamu Yon, Indie ini diem-diem naksir kamu!"
"ARIEL!!!!" Indie membentak Ariel.
Ariel memang suka mempermainkan Indie, tentu saja mereka akrab, mereka satu kampus, tetapi keakraban mereka sebenarnya seringkali dalam persoalan adu mulut hahahaha, jika melihat mereka, aku jadi terkenang Kent dan Amanda. Damn! Lagi-lagi..

"Rion, besok temenin aku jalan-jalan yok?" ajak Indie.
"Ga bisa Dee, besok aku mau istirahat, malam ini terlalu capek, aku juga belum menyelesaikan tugas komputerku"
"Kenapa sih susah banget kamu diajak jalan? Selalu saa ada alasan" Indie merajuk.
"Bukannya begitu Dee. Waktunya aja yang kurang tepat" jawabku. Jujur, memang aku menghindari kebersamaan dengan Indie, aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, karena aku tau, meski Ariel suka meledek Indie, Ariel menyukai Indie.
"Iya deh. Lagian aku ga mau maksain kamu, yaa terpaksa deh besok minta ditemenin Ariel" keluh Indie.
"Siapa yang mau nemenin loe? Pede amat" cibir Ariel.
"Jelek!! Awas ya!" Indie menimpuk kepala Ariel dengan majalah yang dipegangnya.
Aku tertawa melihat tingkah laku kedua orang itu.

"Dee, jangan seperti itu. Ga baik dan ga sopan!" tegur Atlantis.
Indie cemberut dan menyeret Ariel.
"Riel kita pulang aja yok, Abang nyebelin malem ini, huh"
"Bang Lantis, Rion, kami pulang dulu ya" seru Ariel mengikuti Indie yang setengah menyeretnya.

"Aku ga ngerti ngeliat tingkah laku anak muda sekarang" keluh Atlantis.
"Sabar Boss, namanya juga anak muda, umur mereka kan masih 17-an, wajar jika terlihat masih kekanakan" jawabku.
"Jaman cepat sekali berubah Yon. Kamu sudah mau pulang?"
"Iya, apakah masih butuh bantuanku?"
"Kamu pulang duluan gak apa-apa. Aku masih ada yang dikerjakan. Maaf, malam ini merepotkanmu."
"Itu kan pekerjaanku Boss" jawabku.
"Kita ini teman Yon, kamu ga perlu memanggilku Boss"
"Oke Lantis, aku bantu membereskan dan menyusun kursi ya, biar kita sama-sama pulangnya"
"Terima kasih Yon"
"Gak gratis kok, aku butuh tumpangan sampai ke apartemenku hehehehe"
"Gampang, kita juga searah"

Aku membantu Atlantis merapikan Kafe Se7en Oceans sebelum ditutup. Hari ini aku tidak melihat Paris, Andrea maupun Erin, padahal akhir pekan biasanya mereka suka berkumpul di sini.

"Yon, sudah selesai, aku mau mengunci pintu" panggil Atlantis.
"Iya, aku juga sudah selesai."

Aku mengikuti Atalantis yg sudah menyalakan mobilnya. memandang sejenak ke arah Se7en Oceans. Setelah 3 bulan, aku akhirnya meyakinkan diri, ini adalah tempat baruku. Aku akan memulai hidup baru di sini. Dengan lebaran baru dan teman baru.