Se7en Oceans adalah nama sebuah kafe di Kota Palem. Tempat 7 pribadi yang berbeda satu sama lain dengan karakter dan background yang berbeda duduk bercengkrama dan berbagi kehidupan. Ini sebuah kisah asmara, pertemanan, sahabat, kehidupan, penemuan jati diri, dan lainnya dari 7 orang yang berbeda latar belakang. Mereka adalah Orion, Atlantis, Paris, Ariel, Andrea, Erin, dan Indie. Feel the wave of the oceans..

Senin, 08 Maret 2010

FAIRY DUST

Minggu pagi itu rumah sepi. Papa dan Mama pergi berbelanja, sedangkan Erin ada janji dengan narasumbernya. Aku memanfaatkan sepinya pagi itu untuk membuat lemon tea dingin di dapur. Minuman itu adalah favoritku terutama saat cuaca terik seperti ini. Paris yang suka memesan cocktail dengan nama yang unik setiap kali kami sedang ngumpul di kafenya Lantis, selalu mengejekku kalau aku hanya minum lemon tea dingin atau hangat kalau sedang hujan. Hmm ... aku jadi ingat sama Paris lagi! Aku tersenyum dengan pikiran mulai menerawang ... membayangkan kalau saat itu Paris sedang duduk di seberang meja, menghirup kopi sambil sesekali tersenyum lembut padaku ...

Brakkk!!

Pintu didepan terbanting dengan keras, membuatku nyari saja menjatuhkan gelas yang sedang kupegang. “Brengsek!!” ada seseorang yang memaki dengan suara keras di ruang tamu. Erin, adikku. Aduh ... ada apa ya? Pikirku, jarang-jarang Erin marah sampai seperti ini. Kalaupun dia sedang adu mulut dengan Paris (yang entah kenapa betah banget ngajakin Erin berantem mulut sampai satu jam lebih) ia paling hanya akan mendengus sinis lalu buang muka kalau sudah tidak bisa menahan kekesalannya. Kalau sudah begitu, Paris pun (terpaksa) minta maaf karena aku juga akan melakukan aksi tutup mulut sebelum ia mengakui kesalahannya dan meminta maaf pada Erin.

Kejadian seperti itu sering banget terjadi kalau kami sedang ngumpul bareng di kafenya Lantis. Lantis juga sudah angkat tangan kalau Erin dan Paris mulai berantem mulut. Paling-paling Lantis hanya akan tersenyum penuh simpati padaku, lalu mengajakku duduk di bar untuk minum-minum, meninggalkan dua manusia ajaib itu menyelesaikan masalah mereka. “Sabar aja ya, Ndre! Gue juga punya adek cewek yang bawel banget ... jadi gue ngerti perasaan loe.” Kata Lantis. Ia kemudian meminta Orion membuatkan iced chocolate untuk menghiburku yang pusing setengah mati saat ‘terjebak’ diantara Paris dan Erin. Tempo hari, untuk kesekian kalinya Paris memancing Erin buat adu mulut dengan menceritakan pengalamannya menggaet cewek-cewek dengan *ahem* pesonanya sebagai seorang polisi yang ... ehhh ... tampan. Erin yang feminis banget itu kontan enggak terima, dia mencak-mencak sampai aku harus mengingatkannya kalau saat itu kami sedang berada di tempat umum. Untung saja saat itu Paris mengaku salah dan mau minta maaf duluan. Mereka kemudian menghampiriku yang sedang duduk di bar bareng Lantis dan Orion, untuk meminta maaf padaku.

“Loe enggak capek apa, ngajakin Erin berantem mulu?” tanyaku (separuh putus asa) pada Paris ketika Erin sedang pergi ke WC.
“Seru juga!” Paris mengangkat bahu, nyengir. “Adek loe itu cewek yang smart, galak tapi juga polos. Gue belom pernah ketemu cewek model dia.”
Ya, itulah adikku, Erin.

Selang beberapa detik kemudian, Erin masuk ke dapur dengan wajah siap membunuh. Tapi ketika melihatku, ekpresi galaknya perlahan luntur, menyisakan seraut wajah ngambek yang menggemaskan. “Sebel banget aku, Kak!” ia berjalan ke sebelahku lalu duduk di atas meja pantry. Untung Papa dan Mama sedang pergi, kalau enggak pasti Erin sudah kena omelan panjang-pendek.

“Kenapa?” tanyaku membelai rambut pendeknya untuk menenangkan emosinya.
“Narasumber yang aku temui, tiba-tiba aja enggak ada di rumah. Padahal aku sama temen-temen udah bela-belain berangkat dari jam 5 pagi dan cewek sialan itu juga udah bilang kalau dia bisa diwawancarai pagi-pagi!! Gak taunya begitu nyampe di sana, dia dengan entengnya ngebatalin wawancara karena katanya dia lagi enggak mood, brengsek gak sih?! Padahal kita udah bikin janji dari seminggu yang lalu!!” Erin meninju meja pantry dengan jengkel. Aduh ... pantas saja Erin sampai begitu marahnya, dia paling tidak suka kalau dirinya dibohongi dengan alasan apapun atau merasa dirinya dipermainkan.
“Tenang Rin ... ini minum dulu deh ya ...” aku menyodorkan gelas lemon tea dinginku. Setelah meminum hampir separuh gelas, Erin tampak mulai tenang. Ia mengatur nafasnya yang terengah-engah.
“Hhh ... bener-bener enggak bisa diterima, Kak!” diam-diam aku menghela nafas lega mendengar suara Erin sudah mulai terdengar seperti keluhan, tidak sebringas tadi. “Mana tadi dia bilang lagi ke aku dan temen-temen ‘kalau kalian enggak cocok sama cara saya ya sudah! Toh enggak ada gunanya juga saya masuk tabloid cupu kayak gitu!’ sialan banget kan, Kak? Dasar model kampungan!”
“Siapa memangnya?” tanyaku.
“Diva Permata Jelita, ralat, Permaisuri Diva Permata Jelita yang terhormat!” uar Erin sarkastis.
“Oh, model yang sedang naik daun itu?” tanyaku, Erin menjawab dengan satu senyuman penuh cela. Aku buru-buru menambahkan,“Hmm, kalau attitude-nya begitu terus ya ... susah.” Lanjutku. “Sabar ya, Rin ... kadang kejayaan itu suka bikin orang jadi ‘fly’ dan gak sadar sama sekeliling mereka. Kayak orang teler aja. Kita mau ladenin kayak apa ya susah, sama aja kan kayak kita ngajak ngomong orang mabok? Inget gak, ceritanya Paris waktu dia ketemu orang teler di klub apa gitu ...”
“Hahahaha!! Yang Paris pura-pura jadi supir limosin buat ngebawa orang itu ke posnya?” Erin tertawa mengingat cerita Paris waktu itu. Aku mengangguk sambil terkikik geli. Waktu itu Paris cerita ketika ia ketemu orang teler di salah satu klub tempat dia clubbing. Orang yang sudah mabuk berat itu teriak-teriak dan melempari semua orang dengan kaleng-kaleng bir, sambil berkata kalau dirinya adalah raja di tempat itu. Paris dan beberapa orang centeng di club itu sepakat untuk membawanya ke pos polisi tempat Paris bekerja. Paris berpura-pura menjadi supir mobil limosin yang akan membawa si ‘raja’ itu kembali ke kerajaan. Si orang mabuk itu pun tertawa senang, lalu menurut. Tapi ketika si orang mabuk yang mulai sadar itu melihat plang ‘POLISI’ di depan ‘istana’-nya itu, ia melarikan diri dari Paris ketika Paris mengeluarkannya dari jok belakang mobilnya. Paris enggak mau repot-repot mengejar, soalnya orang itu hanya berlari-lari mengelilingi lapangan depan posnya dan Paris tinggal menyuruh temannya untuk menjaga gerbang saja supaya orang itu tidak kabur.
Puncaknya adalah ketika orang itu menoleh ke arah Paris dan berteriak “kalian tidak akan menangkapku hidup-hidup!!” sebelum berlari kencang seperti celeng hutan, melompat bagai superman dan ... mendarat tepat di atas tong sampah raksasa. Kata Paris, teman-temannya yang kebagian tugas mengurus perkara itu kesulitan setengah mati untuk tetap serius ketika menceritakan kembali kejadian malam itu pada si pemabuk yang sudah sadar dan bertanya-tanya kenapa badannya bau bangkai tikus.
Lebih-lebih lagi, ada kejadian dimana ketika Paris meninggalkan pemabuk itu di sel, pemabuk itu tahu-tahu saja memeluk Paris dan berkata “Sun dulu dong!” nyari saja si pemabuk itu kena bogem mentah kalau Paris enggak menahan diri. Wajah si pemabuk yang sudah sadar itu semakin ‘priceless’ ketika seorang teman Paris berkata, “kamu inget tidak, kamu bilang apa pada Bapak yang ini?” sambil menunjuk Paris yang berdiri dengan senyum iblis di wajahnya. Sejak saat itu Paris enggak pernah lagi melihat orang itu di klub manapun yang ia kunjungi.
“Paling ngeselin emang kalau nanganin orang mabok, tapi si orang gila satu itu yang paling rese! Mana pake mau ngesun gue lagi! Enak aja! Kan enggak enak kalau gue nanti jadi mau minta nambah!” kata Paris sambil mengedipkan sebelah mata. Aku dan Erin tertawa geli sampai keluar air mata mendengarnya. Lantis yang sedang menelfon seorang mitra bisnisnya, kelepasan tertawa dan harus menjauhkan HP-nya dari telinga untuk beberapa saat.
“Yah, mungkin aja Kak Paris memang cocoknya sama cowok! Biar imbang! Habis selama ini cewek-cewek yang Kak Paris ceritain itu kayaknya terlalu ... hmm ... gampang!” komentar Erin ketika itu, menumpahkan sisa-sisa kekesalannya pasca adu mulut dengan Paris.
Paris tertawa ringan, sama sekali tidak tampak tersinggung. “Usul loe boleh gue tampung ... tapi mungkin tidak sekarang. Gue baru tau belakangan ini kalau enggak semua cewek itu ‘gampang’, Rin! Beberapa masih membuat gue penasaran untuk gue taklukan!” kata Paris, menyunggingkan senyum misteriusnya untuk membalas pelototan maut Erin.
“Ck! Udah deh! Kalau kalian mau adu mulut, terserah! Tapi aku enggak mau ikutan, lebih baik aku pulang aja!” ujarku menengahi situasi yang mulai panas lagi. Untungnya mereka berdua mau nurut dan mengganti bahan pembicaraan. Paris kemudian memesan cocktail lagi ke Orion sambil menyalakan rokoknya, sementara aku mengobrol dengan Lantis dan Erin, sesekali kami bertepuk tangan saat adiknya Lantis – Indie – selesai menyanyikan lagu-lagu andalannya di stage kafe.
Untunglah setelah mengingat cerita konyol Paris itu, Erin sudah mulai ceria lagi seperti biasanya. Ia kemudian mengajakku jalan-jalan untuk mengusir suntuk.
“Oke!” kataku. “Kita mau kemana hari ini?”
“Tergantung suasana hati!” jawab Erin, tersenyum lebar. “Ke taman kota, cari jajanan pinggir jalan ... kemana aja deh! Aku lagi pengen nyari suasana yang baru buat penyegaran!”
“Hehehe, asik juga ... sebentar, aku ganti baju dulu ya.”
“Asiik! Kakak emang cantik! Muah!” Erin mencium pipiku, lalu berlari riang keluar dari dapur.
Aku tersenyum pada diriku sendiri, dalam hati bersyukur memiliki adik tiri seperti Erin. Gadis itu begitu penuh dengan kehidupan. ‘full of life’, istilahnya. sikapnya bebas-lepas namun wajar. Canda dan tawa Erin tidak pernah gagal menulari sekelilingnya dengan keceriaannya yang polos.
Awalnya aku sempat takut-takut ketika Mama memutuskan untuk menikah lagi dengan Papa Erin, aku takut Erin akan menolakku dan menganggapku sebagai musuh. Tapi ternyata tidak, Erin cepat akrab dengan Mama, ia juga berkata kalau dari dulu ia ingin sekali punya kakak cewek yang bisa ia ajak curhat. Bahkan, di pertemuan pertama kami, Erin langsung bertanya apakah ia boleh langsung memanggilku ‘Kakak’. Hal itu membuatku nyaris saja menitikkan air mata karena terharu. Baru sekali itu ada orang yang sepertinya menerimaku dengan begitu tulus, tanpa syarat.
Ajaib banget, kuakui, bagaimana kehadiran Erin mengubah kehidupanku. Dalam waktu singkat, semua kekelaman yang ditimbulkan Papa Rhio menghilang begitu saja. Aku bukan lagi si gadis cilik tolol yang sering melakukan kesalahan dan membuat jengkel Papa Rhio, melainkan bagian dari keluarga yang begitu hangat dan penuh keceriaan. Aku merasakan perasaan yang dirindukan setiap orang, menyayangi dan disayangi.
Dalam hati, aku menjuluki Erin si ‘peri kecil’ karena keistimewaannya itu. Saat ia berlari lincah keluar dari dapur tadi, dengan mudah aku bisa membayangkan sepasang sayap mengepak riang di punggungnya dan serbuk peri serupa glitter berjatuhan di belakangnya.
Aku yakin, hari minggu ini pasti bakal menyenangkan banget kalau aku melewatinya dengan si peri kecilku ini!

ATLANTIS

Diawali dengan sebuah perjalanan panjang yang melelahkan. Aku menemukan tempat ini. Sebuah tempat yang sangat mempesonakanku saat itu dan sampai saat ini. Perasaan nyaman, tenang dan damai yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya telah menghanyutkanku dalam menjalani kehidupanku sekarang di tempat ini. Aku sempat bertanya-tanya pada diriku sendiri "Apakah tempat ini nyata?". Pantai yang teduh dengan banyaknya pohon kelapa di sepanjang bibir pantai, ombak yang tidak terlalu besar, pasir yang putih dan mengkilat terkena sinar matahari, wangi laut yang menyegarkan seakan membuat diriku tambah bersemangat. Saat aku memandang sekelilingnya dan memejamkan mata sejenak, semua terasa berjalan sangat lambat bagiku. Dan ketika aku memejamkan mata lebih dalam lagi, aku merasakan hembusan angin membelai kulitku, menyibak rambutku, seakan-akan menerbangkanku menuju tempat yang sangat indah. Tapi aku tahu, tempat ini akan menjadi sebuah latar cerita kehidupanku dan orang-orang yang berada disini saat ini, esok dan yang akan datang. Aku berharap cerita itu akan selalu tetap menyenangkan, tetapi aku juga tahu bahwa tidak ada cerita yang selamanya akan menyenangkan.

Semuanya berawal dari ketertarikanku pada tempat ini, tidak banyak kegiatan berlangsung di sekitarnya. Hal ini memberiku inspirasi untuk memberikan tempat ini sebuah "nyawa". "nyawa" yang bisa membuat tempat ini semakin menarik untuk dinikmati, semakin menggoda untuk dilihat dan semakin menggairahkan untuk tetap berada disini. Akhirnya, dengan mempertaruhkan sebagian besar uang yang telah aku kumpulkan dari penghasilanku selama bertahun-tahun dan dengan hasrat yang sangat besar pada tempat ini, aku putuskan membuat sebuah tempat bagi orang-orang penuh hasrat bersosialisasi, sebuah tempat yang penuh kejutan di dalamnya, dan sebuah tempat yang menurutku akan menjadi "jantung" dari lingkungan ini. "Kafe Se7en Oceans".

Let's feel the wave of the oceans...........